Pagi di kontrakan kecil di Depok selalu dimulai dengan suara ayam dari gang sebelah dan aroma nasi goreng buatan Ibu. Nayla, anak perempuan kelas satu SD, sudah terbiasa bangun lebih dulu dari Mas Arka, kakaknya yang duduk di kelas empat. Mereka tinggal bertiga bersama Ibu, sementara Ayah kini sudah kembali mengajar di SMP Negeri Jakarta setelah beberapa tahun jauh dari keluarga.
Kadang, kalau jadwal Ayah tidak terlalu padat, beliau pulang lebih awal dan mengantar Nayla ke sekolah naik motor tuanya—motor yang suaranya berderum pelan tapi penuh kenangan. Nayla suka sekali duduk di belakang, memeluk Ayah sambil menikmati angin pagi Depok yang sejuk.
Namun, jika Ayah belum pulang, Nayla biasa berangkat sendiri. Sekolahnya hanya berjarak tiga ratus meter dari rumah kontrakan, jadi ia berjalan sambil membawa tas ungu kesayangannya, sering kali ditemani Yusi—teman sebangkunya yang rumahnya searah.
Setiap pulang sekolah, Nayla dan Yusi berjalan pelan, menendang kerikil di jalan, bercerita tentang guru yang lucu atau tentang gambar pelangi yang mereka buat di kelas. Kadang, Nayla mampir ke rumah Yusi untuk bermain boneka kertas atau menggambar bersama. Dari semua teman di sekolah, Yusi yang paling tahu isi hati Nayla. Mereka bersahabat sampai lulus SD nanti, melewati banyak hal bersama.
Di rumah, suasananya tak selalu cerah. Ibu Nayla seorang guru SD yang tegas dan disiplin. Ia ingin kedua anaknya tumbuh menjadi anak yang rajin dan sopan. Tapi kadang, ketegasan itu terasa berat bagi Nayla. Saat ia lupa mengerjakan PR atau menumpahkan air minum, suara Ibu bisa meninggi. Ada hari-hari ketika Nayla merasa takut, bukan karena benci, tapi karena ingin dimengerti.
Suatu sore, setelah sebuah kesalahan kecil, Ibu menegur Nayla dengan sangat keras. Nayla menangis lama di kamarnya. Tapi malam itu, saat lampu sudah redup, Ibu datang perlahan, membelai rambut Nayla yang masih basah oleh air mata.
“Ibu cuma ingin kamu jadi anak baik, Nak. Ibu sayang kamu,” bisiknya pelan.
Sejak itu, Nayla belajar memahami: cinta kadang datang dalam bentuk yang berbeda—kadang lembut, kadang keras. Tapi yang penting, ia tahu di dalam rumah kecil itu, masih ada kasih, meski sering tersembunyi di balik lelah dan tegasnya suara orang tua.
Hari berganti minggu, minggu berganti tahun. Nayla tumbuh jadi anak yang kuat, ceria, dan penuh semangat. Setiap kali motor tua Ayah berhenti di depan kontrakan, Nayla selalu berlari keluar sambil berteriak riang,
“Ayah pulang!”
Dan setiap kali itu juga, pelukan mereka selalu sama hangatnya—pelukan yang membuat Nayla tahu, rumah sekecil apa pun akan selalu terasa luas… selama cinta tetap tinggal di dalamnya.