Kadang tanpa sadar, kita merasa cara kita mengajar sudah paling tepat. Kita yakin metode yang kita pakai paling efektif, cara menilai paling adil, dan pendekatan kita ke murid paling bijak.
Namun di saat yang sama, muncul rasa aneh—kita mulai melihat guru lain “kurang pas”, “kurang tegas”, “terlalu santai”, atau bahkan “tidak profesional”.
Padahal, bukan berarti mereka salah. Bisa jadi kita yang sedang terjebak dalam perasaan paling benar.
Kita lupa bahwa setiap guru punya gaya, pengalaman, dan kondisi kelas yang berbeda. Ada yang mengajar dengan kelembutan, ada yang tegas tapi tetap hangat. Ada yang lebih suka praktik langsung, ada yang lebih banyak berdiskusi. Semua punya niat yang sama – ingin muridnya belajar dengan baik.
Sebelum hal itu merasuki kita, mari perhatikan berikut beberapa hal yang sebaiknya kita renungkan, supaya tidak terjadi merasa diri paling benar. Mari dicek! ✨
📍1. Setiap guru punya medan yang berbeda.
Apa yang berhasil di kelas kita, belum tentu cocok di kelas orang lain. Murid, suasana, dan tantangan setiap kelas itu unik.
📍2. Merasa benar itu wajar, tapi jangan menutup mata.
Kadang kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, “Apakah cara saya selalu yang terbaik?” — bukan untuk meragukan diri, tapi untuk tetap terbuka pada cara baru.
📍3. Belajar dari guru lain bukan berarti kita kalah.
Justru di situlah letak kebijaksanaan seorang pendidik — mau belajar, sekalipun dari teman sejawat.
📍4. Hindari membandingkan, mulai dari memahami.
Saat kita berhenti menilai, dan mulai mencoba memahami alasan di balik tindakan guru lain, kita akan lebih tenang dan terbuka.
Pada akhirnya, guru yang baik bukan yang merasa paling benar, tetapi yang terus belajar memahami bahwa kebenaran dalam pendidikan itu luas — dan bisa datang dari mana saja, bahkan dari guru lain.




































