Setelah bertahun-tahun mengajar di Pulau Seribu, akhirnya kabar gembira datang. Pak Damar dipindahkan mengajar ke salah satu SMP negeri di Jakarta. Kabar itu membuat rumah kecil keluarga mereka penuh sorak gembira.
“Benar, Pa? Jadi Ayah nggak pergi jauh lagi?” tanya Arka dengan mata berbinar.
Pak Damar mengangguk sambil tersenyum. “Iya, mulai bulan depan Ayah akan mengajar di Jakarta saja. Jadi bisa pulang setiap hari, makan bersama kalian, dan nggak perlu video call lagi untuk ngobrol.”
Nayla, yang kini duduk di kelas 1 SD, langsung melompat kegirangan. Ia memeluk ayahnya erat-erat sambil berkata,
“Yeeey! Akhirnya Ayah bisa jemput Nayla sekolah!”
Hari-hari pun berubah. Kini setiap pagi, rumah mereka ramai dengan suara Arka dan Nayla yang bersiap sekolah. Bu Rani masih sibuk menyiapkan bekal, tapi kini ada Pak Damar yang ikut membantu, entah dengan mengikatkan dasi Arka atau menyisir rambut Nayla.
Di sekolah, Nayla semakin bersemangat. Ia tahu sore nanti, selain Ibu, Ayah pun akan menjemputnya. Ia suka berjalan sambil menggenggam tangan ayahnya, menceritakan semua hal kecil yang ia alami di kelas.
Di rumah, keluarga itu punya kebiasaan baru: makan malam bersama setiap hari. Mereka duduk mengelilingi meja, bercerita tentang pengalaman masing-masing. Arka tentang sepak bolanya, Nayla tentang PR menggambar, Bu Rani tentang murid-muridnya, dan Pak Damar tentang kelas barunya di SMP.
Kadang malam hari, mereka berjalan kecil di sekitar rumah. Nayla suka sekali kalau Ayah menggendongnya di pundak, melihat lampu-lampu jalan yang berkelip.
“Dulu Nayla cuma bisa lihat Ayah di layar handphone,” katanya polos.
Pak Damar terharu, ia mengecup kening putrinya. “Sekarang Ayah ada di sini setiap hari. Rindu kalian sudah terbayar.”
Rumah sederhana itu kini terasa lebih lengkap. Rindu yang dulu sering hinggap, kini berubah menjadi kebersamaan yang hangat setiap hari.
Dan Nayla, si gadis kecil yang dulu sering menanti, kini tumbuh lebih percaya diri karena tahu: Ayah ada di sampingnya, selalu.