Di balik dinding sederhana Sekolah Luar Biasa (SLB) Kasih Ibu, berdiri seorang pahlawan tanpa tanda jasa bernama Rahayu (45). Dengan segala keterbatasan fasilitas dan minimnya dukungan dana, Rahayu mendedikasikan hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun untuk merangkul dan mendidik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kisahnya menjadi cerminan sejati dari ketulusan profesi guru.
Fasilitas Minim, Semangat Maksimal
SLB Kasih Ibu, yang berlokasi di pinggiran Kota Damai, menghadapi realitas yang sulit. Ruangan kelas yang terbatas, papan tulis yang usang, dan ketiadaan alat bantu belajar yang memadai untuk anak-anak dengan disabilitas sensorik atau intelektual menjadi pemandangan sehari-hari.
Rahayu, yang berstatus guru honorer dengan gaji tak seberapa, tak pernah menjadikan keterbatasan tersebut sebagai alasan. Sebaliknya, hal itu memicu kreativitasnya.
“Kami tidak punya puzzle edukatif yang mahal, jadi saya membuat media belajar dari botol plastik bekas dan kardus. Untuk anak autis yang butuh terapi sensori, saya gunakan beras warna-warni dan kacang-kacangan. Keterbatasan memaksa kami untuk berpikir di luar kotak,” ujar Rahayu dengan senyum lembut, sambil menunjukkan alat peraga buatannya.
Pendekatan Personal yang Menyentuh Hati
Rahayu mengajarkan berbagai keterampilan hidup, mulai dari berhitung dasar, membaca, hingga kemandirian. Ia sadar, kurikulum standar tidak bisa diterapkan pada semua siswanya. Dengan ketekunan luar biasa, ia menyusun kurikulum personal untuk setiap anak, menyesuaikannya dengan tingkat kebutuhan dan minat masing-masing.
Ketulusannya terlihat dari cara ia menghadapi murid-muridnya. “Terkadang, mengajar ABK adalah tentang kesabaran tanpa batas. Hari ini mereka bisa menguasai satu hal, besok bisa lupa. Tapi tugas kita bukan menyerah, melainkan mengulanginya dengan cinta,” tambahnya.
Dampak yang Tak Tergantikan
Dedikasi Rahayu memberikan hasil yang nyata. Ibu Santi (38), salah satu orang tua murid yang anaknya memiliki disabilitas intelektual, bersaksi bahwa perubahan pada anaknya sangat signifikan sejak ditangani oleh Rahayu.
“Dulu anak saya tidak mau bicara, selalu menarik diri. Sekarang, ia sudah mulai bisa berinteraksi, bahkan bisa merapikan sepatunya sendiri. Bu Rahayu bukan hanya guru, beliau adalah malaikat yang melihat potensi di tempat kami hanya melihat kesulitan,” kata Ibu Santi terharu.
Kisah Guru Rahayu adalah pengingat bahwa pendidikan inklusif berkualitas tidak selalu memerlukan dana yang tak terbatas, melainkan membutuhkan hati yang tulus dan komitmen yang tak tergoyahkan. Ia menjadi representasi dari ribuan guru di pelosok negeri yang berjuang melampaui segala kekurangan demi masa depan anak didiknya.



































