Yogyakarta — Pada era ketika NEM (Nilai Ebtanas Murni) masih menjadi syarat utama Penerimaan Siswa Baru (PSB), alumni SMAN 3 Yogyakarta bukanlah hal asing di bangku-bangku kampus negeri ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI). Kala itu, standar masuk sekolah yang dikenal dengan sebutan Padmanaba tersebut sangat tinggi, dengan nilai minimal rata-rata NEM 37.00 atau setara 9,25 per mata pelajaran.
Tingginya ambang batas tersebut menjadikan SMAN 3 Yogyakarta dihuni oleh siswa-siswa berprestasi yang terkenal sebagai “langganan” kampus-kampus favorit. Namun, dinamika berubah ketika sistem penerimaan sekolah mulai menggunakan mekanisme zonasi, domisili, dan berbagai ketentuan baru lainnya. Dampaknya, siswa yang diterima menjadi lebih beragam dari segi kemampuan akademik.
Meski demikian, perubahan sistem tidak membuat SMAN 3 Yogyakarta kehilangan reputasinya. Sekolah ini tetap menunjukkan kualitas pendidikan yang konsisten dari waktu ke waktu. Padmanaba terbukti masih menjadi salah satu sekolah terbaik di DIY dalam urusan meloloskan siswanya ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Setiap tahun, SMAN 3 Yogyakarta tercatat sebagai sekolah dengan persentase kelulusan tertinggi ke UGM, mengungguli sekolah-sekolah lain di Yogyakarta. Prestasi ini menjadi bukti bahwa kualitas akademik dan pola pembinaan di Padmanaba tetap terjaga, meski input siswa kini lebih heterogen.
Rekam jejak tersebut menegaskan bahwa Padmanaba bukan hanya bergantung pada kualitas siswa yang masuk, melainkan juga pada sistem pendidikan, budaya belajar, dan pembinaan berkelanjutan yang telah menjadi identitas sekolah ini sejak lama.


























