Fenomena sulitnya lulusan baru jurusan pendidikan untuk menembus dunia kerja di sektor pendidikan formal bukan lagi cerita baru. Banyak yang justru terjebak dalam pengangguran terselubung, bekerja di luar bidang pendidikan, atau hanya menjadi guru honorer tidak tetap dengan penghasilan yang jauh dari kata layak.
Masalah ini semakin kompleks ketika dihadapkan pada sistem rekrutmen guru yang tidak sepenuhnya transparan dan adil. Salah satu isu krusial yang belakangan ramai diperbincangkan di kalangan pendidik adalah praktik “akal-akalan” agar bisa masuk ke dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Dapodik sejatinya dirancang sebagai basis data resmi untuk memetakan kondisi pendidikan nasional, termasuk data guru dan tenaga kependidikan.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini kerap dimanfaatkan sebagai “gerbang seleksi tak kasat mata” yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang sudah memiliki akses, relasi, atau kedekatan dengan pihak sekolah.
Bagi fresh graduate pendidikan, Dapodik ibarat tembok tinggi yang sulit dipanjat. Tanpa status mengajar resmi di sekolah yang terdaftar, mereka otomatis tersingkir dari berbagai peluang pengembangan profesional, salah satunya Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Guru Tertentu. Program ini menjadi harapan besar karena menjanjikan sertifikasi pendidik dan peningkatan kesejahteraan. Ironisnya, justru mereka yang baru lulus dan belum memiliki jaringan kuat di sekolah sering kali tidak diberi kesempatan untuk sekadar masuk sistem.
Di sinilah muncul istilah yang sering dibicarakan secara lirih di kalangan guru: “siluman dapodik”. Istilah ini merujuk pada individu yang secara administratif tercatat sebagai guru aktif di Dapodik, meskipun dalam praktiknya peran mengajarnya minim, bahkan ada yang nyaris tidak pernah mengajar. Mereka bisa masuk karena rekomendasi orang dalam, hubungan keluarga, atau kedekatan personal dengan pimpinan sekolah. Dalam banyak kasus, jalur nepotisme menjadi kunci utama untuk membuka pintu tersebut.







































