Aktivitas para pekerja kerang hijau tampak padat di pesisir Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (5/12/2025). Di hamparan tepi laut yang menjadi pusat mata pencarian warga, tumpukan kerang hijau terus berdatangan dari perahu-perahu kecil yang baru saja bersandar. Komoditas laut ini menjadi andalan nelayan setempat, dijual sekitar Rp30.000 per kilogram dan menjadi bahan makanan favorit bagi banyak warga Jabodetabek.
Namun, di balik ramainya perdagangan kerang hijau, terselip persoalan yang jarang tersorot: penumpukan limbah cangkang yang kian mengganggu lingkungan dan kesehatan masyarakat. Limbah yang tidak dikelola dengan baik itu menumpuk di area pesisir, pasar, hingga lokasi pengolahan, menciptakan potensi bahaya yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Praktisi kesehatan masyarakat lulusan Universitas Indonesia, dr. Ngabila Salama, menjelaskan bahwa limbah cangkang kerang dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, cangkang yang dibiarkan membusuk dapat menghasilkan bau menyengat akibat gas amonia dan hidrogen sulfida. Gas tersebut, menurutnya, dapat memicu sakit kepala, iritasi, mual, bahkan sesak napas.
Tidak hanya itu, tumpukan cangkang menjadi magnet bagi vektor penyakit seperti lalat, tikus, dan kecoa, yang membawa risiko penularan penyakit. Serpihan cangkang yang tajam juga dapat menyebabkan luka sayat bagi warga yang beraktivitas di sekitar lokasi. Jika limbah dibuang sembarangan ke sungai atau laut, kualitas air dapat menurun dan meningkatkan risiko diare atau infeksi kulit.


































