Tangerang Selatan, 21 November 2025 — Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, kembali menegaskan pentingnya memperjuangkan keadilan akses pendidikan melalui gerakan kolektif pencegahan anak rentan putus sekolah. Pesan ini disampaikan Wamen Fajar saat membuka Workshop Fasilitasi Daerah Pendukung Program Revitalisasi Sekolah yang digelar Direktorat SMA Kemendikdasmen di Kota Tangerang Selatan, Kamis malam (20/11).
Gerakan Anak Rentan Putus Sekolah (ARPS) merupakan upaya sistematis untuk melakukan identifikasi dini, pendampingan, dan penguatan motivasi kepada peserta didik yang menunjukkan tanda-tanda kerentanan putus sekolah. Kegiatan lokakarya diikuti oleh Kepala Bidang SMA dari Provinsi Jambi, NTB, dan Maluku Utara, penanggung jawab ARPS tingkat provinsi, kepala sekolah pelaksana gerakan, serta fasilitator dan tim teknis Direktorat SMA.
Dalam sambutannya, Wamen Fajar menekankan bahwa ARPS bukan instruksi dari pemerintah pusat, melainkan gerakan sukarela berbasis kepedulian.
“Keadilan akses pendidikan itu tidak diberikan, tetapi diperjuangkan. Dan perjuangan itu dilakukan oleh kita semua,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi sekolah dan pemerintah daerah yang telah menginisiasi berbagai langkah pencegahan tanpa menunggu mandat formal. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan kesadaran moral yang kuat untuk memastikan seluruh anak memperoleh hak pendidikan tanpa kecuali.
“Gerakan ini lahir dari kesadaran moral, bukan instruksi. Karena itu nilainya sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut data Susenas 2024, tingkat partisipasi sekolah kelompok usia 16–18 tahun masih yang terendah. Lebih dari 20 persen lulusan SMP tidak melanjutkan ke jenjang SMA/SMK, dan per November 2025 tercatat 453.605 siswa putus sekolah pada jenjang tersebut.
Direktorat SMA telah menjalankan Gerakan ARPS sejak 2021. Direktur SMA, Winner Jihad Akbar, mengungkapkan bahwa program ini sudah berjalan di delapan provinsi—Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Aceh, NTB, Maluku Utara, dan Bali—melibatkan lebih dari 900 sekolah.
Dari implementasi tersebut, 8.491 siswa teridentifikasi sebagai anak rentan putus sekolah dan 76 persen di antaranya berhasil tetap melanjutkan pendidikan berkat pendampingan intensif.
“Fokus utama gerakan ini adalah menjaga kesinambungan upaya pencegahan agar setiap anak mendapat haknya atas pendidikan bermutu,” jelas Winner.
Wamen Fajar menambahkan bahwa kerentanan putus sekolah dipicu banyak faktor, mulai dari ekonomi, kondisi keluarga, masalah psikologis, lingkungan sosial, hingga rendahnya motivasi belajar. Ia menyoroti pengaruh budaya digital yang serba cepat dan instan terhadap kehidupan remaja.
“Pengaruh media sosial membuat banyak anak terjebak pola pikir cepat tapi dangkal. Etos belajar melemah,” katanya.
Ia meminta sekolah untuk peka terhadap perubahan perilaku siswa—seperti naiknya angka absensi, menurunnya capaian belajar, atau munculnya pelanggaran disiplin berulang. Deteksi dini penting untuk menentukan strategi pendampingan yang tepat.
Selain itu, Wamen Fajar menegaskan bahwa sekolah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memberikan akses pendidikan tanpa diskriminasi. Ia mencontohkan mekanisme jalur afirmasi yang membuka akses bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.
“Sekolah tidak boleh menjadi institusi yang mengawetkan ketimpangan, tetapi harus menciptakan keadilan bagi semua anak,” tegasnya.
Keberagaman latar belakang siswa memang menimbulkan tantangan, namun menurutnya hal itu menjadi kesempatan bagi sekolah untuk memperkuat karakter inklusif dan menciptakan lingkungan belajar yang aman.
Melihat kompleksitas penyebab putus sekolah, Wamen Fajar menekankan perlunya peningkatan kapasitas guru dalam konseling dasar dan dukungan psikologis.
“Banyak anak mengalami kelelahan mental. Karena itu semua guru harus punya keterampilan konseling,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa angka putus sekolah yang tinggi dapat berdampak serius bagi kondisi ekonomi dan sosial dalam satu hingga dua dekade mendatang.
“Jika dibiarkan, bebannya akan sangat besar. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa,” katanya.
Di akhir sambutan, Wamen Fajar mengajak seluruh peserta untuk terus memperkuat dan memperluas Gerakan ARPS.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Pusat, daerah, sekolah, dan masyarakat harus bergerak bersama,” ujarnya.
Ia berharap gerakan yang sudah berjalan di delapan provinsi ini menjadi model bagi daerah lain sehingga tidak ada lagi anak yang kehilangan hak pendidikan.































