Alasan Baliho Masih Digunakan
Lalu mengapa penggunaan baliho tetap dilakukan meski tidak menjadi sumber informasi?
Content Creator sekaligus Founder Malaka Project Ferry Irwandi menjelaskan, seharusnya baliho tidak lagi hadir di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung karena informasi lebih mudah ditemukan. Tetapi bagi daerah lain, hal ini masih efektif.
“Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan lain-lain, di mana informasi lebih mudah ditemukan, rasanya kurang masuk di akal jika baliho politik masih bertebaran di mana-mana. Segregasinya masih sangat miskin,” ungkapnya dalam acara pembedah hasil #PraxiSurvey bertema Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024 di Jakarta (22/1/2024) lalu dikutip Rabu (31/1/2024).
Tetapi nyatanya di kota-kota besar, baliho politik dan bendera partai dinilai merusak estetika dan pemandangan. Ferry menjelaskan ia bahkan menemukan baliho politik dari pemilu di tahun 2019.
“Ini tandanya para partai politik tersebut hanya memasang saja, tanpa memikirkan bagaimana membersihkan baliho-baliho ini,” tambahnya.
Selain merusak pemandangan, baliho politik juga menyebabkan masalah lain dan memakan korban pengendara di jalan. Seperti sepasang suami istri yang mengalami kecelakaan sepeda motor di fly over Mampang Prapatan, Jakarta Selatan karena bendera partai yang roboh.
Selanjutnya di Cakung, Jakarta Timur ada dua orang ibu-ibu yang tertimpa baliho kampanye caleg. Sehingga ketika kampanye selesai, partai politik sebaiknya ditindak tegas untuk membersihkan baliho dan bendera partai agar tidak terjadi korban selanjutnya.
Tradisi yang Sulit Dihilangkan
Masih dalam diskusi yang sama, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Arga Pribadi Imawan menjelaskan kehadiran baliho politik sebenarnya tidak berada di seluruh wilayah kota. Karena alat peraga kampanye (APK) ini bersifat teritorial.
Sehingga ketika seseorang mencalonkan diri di tempat tersebut, APK akan menjadi penanda kehadirannya dan hal ini ternyata penting untuk politik Indonesia saat ini. Karenanya tradisi ini dinilai Arga tidak akan hilang.
“Wilayah teritorial menjadi penting untuk politik di Indonesia saat ini. Aspek simbolik digunakan ketika berbicara mengenai baliho politik, dengan makna bahwa wilayah ini adalah wilayah dari seorang kandidat tertentu dan hal ini sepertinya tidak akan hilang,” kata Arga.
Meski penggunaan baliho tidak akan hilang, politik Indonesia menurut Arga sudah bergerak di ruang yang lebih cair sejak pemilu 2004. Terutama dalam penggunaan media sosial mulai merebak luas.
“Melalui media sosial, politik bergerak di aspek bahasa dan visual. Ketika seorang calon pemimpin menggunakan akun pribadinya dalam menyuarakan visi, misi, atau program-program yang ia janjikan, tanpa disadari mereka telah melakukan media kampanye,” tutupnya.