Jakarta, — Kekhawatiran muncul di kalangan tenaga honorer setelah pemerintah memastikan bahwa mulai tahun 2026, kontrak kerja tenaga honorer non database Badan Kepegawaian Negara (BKN) akan dihentikan secara bertahap.
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, yang menegaskan bahwa mulai tahun 2026 hanya terdapat dua status pegawai di instansi pemerintah: PNS dan PPPK.
Menurut data Kementerian PANRB, jumlah tenaga honorer non-database BKN yang terancam kehilangan pekerjaan mencapai ratusan ribu orang di berbagai daerah. Mereka selama ini bekerja di sekolah, puskesmas, kantor pemerintahan, dan unit pelayanan publik lainnya tanpa tercatat resmi di sistem nasional kepegawaian.
“Kami tidak bisa mempertahankan pegawai yang tidak terdaftar dalam database resmi ASN. Pemerintah daerah perlu segera mencari solusi, apakah dengan rekrutmen baru atau mekanisme kerja sama lainnya,” ujar salah satu pejabat BKN dalam konferensi pers di Jakarta.
Sejumlah pemerintah daerah mulai melakukan koordinasi untuk menyusun skema transisi bagi tenaga honorer non-database agar tidak langsung kehilangan mata pencaharian. Beberapa opsi yang sedang dibahas antara lain pelatihan keterampilan, fasilitasi kerja sama dengan sektor swasta, serta peluang kerja paruh waktu berbasis proyek pemerintah daerah.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) meminta pemerintah pusat memberikan kelonggaran waktu dan panduan teknis agar proses transisi berjalan adil dan manusiawi.
“Kita perlu solusi yang berpihak. Mereka telah mengabdi bertahun-tahun, jangan sampai kebijakan ini menambah angka pengangguran terbuka,” kata salah satu kepala daerah anggota APKASI.
Langkah pemutusan kontrak ini menjadi tantangan besar menjelang 2026. Pemerintah daerah diharapkan mampu menyeimbangkan kebijakan efisiensi aparatur dengan perlindungan sosial bagi tenaga honorer yang terdampak, agar transisi menuju sistem ASN yang profesional tidak menimbulkan gejolak sosial baru.






















