Pelaksanaan Tes Kompetensi Akademik (TKA) untuk jenjang SMA/sederajat pada awal November lalu menjadi sorotan tajam Komisi X DPR RI. Anggota Komisi X, Abdul Fikri Faqih, menyatakan ketidaksetujuannya apabila nilai TKA dijadikan validator nilai rapor dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Fikri menilai pelaksanaan TKA masih menyisakan banyak persoalan teknis yang berdampak langsung pada peserta. Salah satu masalah utama adalah ketidaksesuaian waktu pengerjaan antara peserta dan sistem server.
“Tidak sinkron antara waktu pelaksanaan di peserta yang sesuai dengan billing waktu yang berjalan di server,” ujarnya.
Selain itu, Fikri menyoroti kebingungan para siswa dalam membedakan simulasi, gladi bersih, dan pelaksanaan TKA sesungguhnya, karena tidak ada batas yang jelas. Ia juga menilai terdapat ketidaksesuaian antara kisi-kisi yang diberikan dengan soal riil yang dihadapi siswa pada pelaksanaan TKA.
Masalah lainnya adalah waktu pengerjaan yang dinilai terlalu cepat dan tidak proporsional untuk tingkat kesulitan soal.
“Dalam 45 menit siswa harus bisa menyelesaikan 25 soal… Untuk soal-soal tertentu tidak mungkin meskipun mungkin anak cerdas,” tegasnya.
Lebih jauh, Fikri menemukan bahwa sejumlah soal TKA justru memuat materi yang belum diajarkan di sekolah, sehingga menyulitkan siswa untuk menjawab secara optimal.
“Pembelajaran belum selesai tapi ada TKA… banyak yang menganggap belum pernah kami dapat materi begini,” ungkapnya.
Atas berbagai temuan tersebut, Fikri menegaskan bahwa hasil TKA sebaiknya tidak dijadikan validator nilai rapor untuk jalur masuk perguruan tinggi negeri melalui SNBP, mengingat ketidaksiapan teknis dan ketidakadilan yang dapat dialami siswa.
Usulan ini diharapkan menjadi pertimbangan dalam evaluasi pelaksanaan TKA dan perumusan kebijakan seleksi mahasiswa baru di masa mendatang.








































