Pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah, melainkan juga keluarga. Guru dan orang tua ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Ketika guru mengajar di sekolah, orang tua mendidik di rumah. Dua peran ini harus berjalan seirama dan saling melengkapi agar tumbuh kembang anak berjalan optimal — baik secara akademik maupun karakter.
Di sekolah, guru menjadi fasilitator pembelajaran. Mereka menanamkan ilmu pengetahuan, mengasah kemampuan berpikir kritis, dan membentuk kebiasaan belajar yang baik. Namun, proses pendidikan tidak berhenti di gerbang sekolah. Di rumah, orang tua memegang peran utama dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti disiplin, empati, tanggung jawab, dan sopan santun.
Ketika komunikasi antara guru dan orang tua terjalin dengan baik, maka pendidikan anak menjadi selaras. Guru memahami kondisi anak di rumah, sementara orang tua mengetahui perkembangan anak di sekolah. Sinergi inilah yang menciptakan suasana belajar yang konsisten, di mana anak merasa didukung, dihargai, dan dipahami di dua lingkungan utamanya.
Sayangnya, masih banyak terjadi kesenjangan antara peran guru dan orang tua. Ada orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah, seolah guru menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Padahal, pendidikan sejati terjadi setiap hari — di rumah, di sekolah, dan di lingkungan sekitar.
Membangun kolaborasi yang kuat bisa dimulai dari hal sederhana: berkomunikasi rutin antara guru dan orang tua, mengikuti kegiatan sekolah, dan memberikan dukungan moral serta waktu berkualitas di rumah. Dengan begitu, pendidikan menjadi perjalanan bersama antara keluarga dan sekolah, bukan beban yang dipikul sendiri.
Karena sejatinya, anak belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari teladan dan cinta kasih yang mereka rasakan di setiap langkah pertumbuhannya. Dan ketika guru serta orang tua berjalan beriringan, masa depan anak-anak Indonesia akan tumbuh lebih cerah, kuat, dan penuh harapan.





















