Universitas Gadjah Mada (UGM) merencanakan pembangunan hunian sementara bagi warga terdampak banjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Menariknya, hunian tersebut akan dibangun dengan memanfaatkan sisa kayu yang hanyut saat banjir sebagai bahan baku utama.
Rencana pembangunan hunian sementara ini tengah disiapkan oleh Grup Riset โTangguhโ UGM yang beranggotakan Prof. Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D.; Ir. Ashar Saputra, S.T., M.T., Ph.D., IPM., ASEAN Eng.; Maria Ariadne Dewi Wulansari, S.T., M.T.; Atrida Hadianti, S.T., M.Sc., Ph.D.; serta Ardhya Nareswari, S.T., M.T., Ph.D.
Salah satu anggota tim, Ardhya Nareswari, menyampaikan bahwa gagasan ini berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi para penyintas bencana. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 18 Desember, tercatat sekitar 147 ribu rumah mengalami kerusakan akibat bencana di berbagai wilayah.
Hunian yang Memanusiakan Penyintas
Nares menegaskan bahwa pembangunan hunian sementara tersebut mengedepankan prinsip memanusiakan penyintas. Hunian dirancang dengan ukuran standar berbasis keluarga, sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu cukup lama sebelum hunian permanen tersedia.
โBisa jadi warga akan tinggal di lokasi tersebut cukup lama sebelum hunian tetap dibangun. Karena itu, penggunaan terpal atau tenda sementara dinilai kurang manusiawi,โ ujarnya.
Manfaatkan Sisa Kayu Hanyutan Banjir
Sementara itu, anggota tim peneliti lainnya, Ashar Saputra, menjelaskan bahwa hunian akan dibangun menggunakan papan kayu berukuran 3 x 12 sentimeter yang berasal dari sisa kayu hanyutan banjir yang masih banyak ditemukan di lokasi terdampak.
โStrukturnya hanya menggunakan baut dan alat sederhana seperti bor. Harapannya, desain ini mudah sehingga masyarakat awam bisa membangun rumahnya sendiri. Cukup ditempel, digapit, dan dibaut,โ jelas Ashar.
Dengan konsep tersebut, hunian diharapkan dapat dibangun dengan cepat. Masa pakai hunian sementara ini diperkirakan tiga hingga lima tahun, cukup hingga pemerintah menyelesaikan pembangunan hunian permanen.
โDaripada harus menunggu satu per satu rumah jadi, keterlibatan warga dalam proses pembangunan juga akan menumbuhkan rasa memiliki,โ tegasnya.
Telah Diterapkan di Sejumlah Daerah
Nares menambahkan, konsep hunian serupa telah diterapkan di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Palu, dan Lombok. Hunian dirancang dengan luas standar 36 meter persegi, namun tetap disesuaikan dengan kondisi setempat.
โSetiap daerah memiliki karakteristik berbeda, baik dari segi tanah, budaya, maupun topografi. Di Lombok misalnya, material baja masih memungkinkan didatangkan dari Jawa. Namun untuk wilayah Sumatera, distribusi baja lebih sulit, sehingga pemilihan material harus disesuaikan dengan kondisi lokal,โ pungkas Nares.






































